Langsung ke konten utama

Terpesona "Cincin Merah Di Barat Sonne"


Terpesona "Cincin Merah Di Barat Sonne"

1
Awalnya aku membersihkan deretan rak buku di pojok kiri tempat tidurku. Sekitar satu meter dari pintu yang terbuka.  Membersihkan rak buku di malam hari sebenarnya bukan kebiasaanku.   Apalagi mengingat aku adalah orang yang cukup malas untuk meneliti dan menjaga buku bebas dari debu setiap hari,  Biasanya cukup membersihkannya 3 hari sekali selebihnya aku hanya menata agar buku-buku itu tidak terlihat berantakan. Aku membersihkan deretan panjang kumpulan kertas yang berisi ribuan kata itu sebagai penghilang jenuh setelah sekian waktu berkutat kepada materi kuliah yang besok akan diujikan,  Pekerjaan yang membosankan.

Lalu setelahnya,  Mataku menemukan satu buku,  Sampul dominan biru laut monoton dengan judul yang cukup menarik, "Cincin Merah Di Barat Sonne, Andi Arsana, " bisikku sambi memiringkan kepala ke kanan untuk membaca judul lebih jelas. Aku ingat buku ini belum pernah aku baca,  Tidak semua buku yang kupunyai tuntas dibaca memang.  Banyak hal yang biasanya membuatku tak menyentuh atau bahkan tak merampungkan suatu bacaan,  Entah karena tidak tertarik,  Ataupun karena sedang menunggu antrian. 
Karena penasaran  kutarik dari barisan rapi buku yang berjejer ke arah selatan itu.  Membaca komentar-komentar yang terdapat disampul buku lalu setelahnya aku sadar,  Kalau buku ini bukanlah novel seperti yang kuduga sebelumnya.  "judul yang cukup manis untuk sekedar kumpulan catatan perjalanan".  Pikirku kemudian. 

Masih berdiri.  Akumembaca pengantar buku.  Sangat manis Andi Arsana mengantarkan pembaca kepada rasa penasaran untuk melanjutkan.  Dia bercerita awalnya tak niat membukukan cerita perjalanannya akan tetapi dengan banyak pertimbangan catatan perjalanan tersebut dia bukukan juga. 
Saya sudah berganti posisi,  Duduk di kasur dengan tetap menekuri satu-persatu kata dalam buku tersebut.  Di catatan pertama bukan malah menceritakan pengalaman perjalanan mengaruhi Samudra Hindia,  Alih-alih dia menceritakan ketegangan pagi hari ketika istri dan anaknya yang masih terkantuk-kantuk mengantarnya ke stasiun Wolonggon Australia.  Bagaimana sang istri yang nanti harus menyetir mobil pulang ke rumah sementara dia baru belajar 2 minggu.  Akan tetapi sepanjang jalan cerita aku dibuat begitu terpesona,  Bagaimana Andi memindai semua yang ada dipengihatannya ke dalam sebuah cerita yang menarik.  Semua.  Bagaimana suasana lengang jalanan,  Anaknya yang masih terkantuk-kantuk.  Ketika melewati sebuah rumah sakit dia menceritakan dengan epik suasana rumah sakit tersebut sambil bernostalgia memasukkan ceritanya tentang rumah sakit ketika menunggui sang istri melahirkan.  Sampai bagaimana setiap orang ketika ke pangkalan BBM harus turun dan mengisi sendiri bahan bakarnya tanpa ada niatan kabur tanpa membayar hanya karena satu kalimat yang tertempel di dekat meteran bensin,  "Smile، you are on camera!.  Menmemindai bagaimana toko-toko masih tutup sambil membandingkan dengan Bali tempat tinggalnya. 

Dan aku terus membacanya,  Terkadang tercenung,  Terkadang tertawa akibat dari guyonan-guyonan cerdas penulis.  Dan satu hal,  membaca buku ini membuatku seperti berada di dalam mobil yang dikemudikan istri Andi Arsana,  Melihat bagaimana pelipisnya berkeringat tegang,  Melihat bagaimana toko-toko itu seperti deretan bangunan yang tak berpenghuni,  Melihat lalu lalang orang di rumah sakit Wollongong dan melihat bagaimana pom bensin tanpa penjagaan.  Dan tak sadar ternyata aku membaca sudah sampai di halaman 30.  Begitu cepatkah aku membaca buku ini,  Atau saya yang tidak ingat waktu karena begitu menikmatinya?

2
Tinggal kurang lebih 150 halaman untuk menamatkan cerita perjalanan ini, aku membacanya di sela-sela ujian dan belajar, cukup sabar mencicil lembar per lembar meskipun sangat sulit mencari waktu yang pas untuk membaca. Tapi karena pada dasarnya ini adalah bacaan yang ringan aku biasanya cepat menemukan mood membaca setelah membaca beberapa paragraf.

Pertama kali aku tidak menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi bahwa Andi Arsana akan menemukan ritme humor dan pikiran-pikiran nakalnya di buku harian ini. Aku menebak-nebak apa saja yang akan dituangkan di dalam buku setebal 270 halaman dengan tempat dan suasana yang begitu terbatas? Pasti membosankan.

Dan ternyata aku salah, kualitas tulisan yang menghibur tetap dia pertahankan sampai paragraf dimana aku berhenti sejenak, seperti kejengkelannya terhadap nama yang penyebutan maupun arti selalu di salah artikan oleh orang-orang barat itu. Dia meramunya dengan humor segar. Namanya yang selalu dibaca I Meid Andi Arsana, akhirnya menjadi pengantar bahwa nama terkadang begitu merepotkan untuk dijelaskan.

Berbicara sebuah nama, aku begitu terhenyak dan menyadari bahwa modernisme telah benar-benar masuk desa kami pelan-pelan, berawal dari style berpakaian, cara bergaul, bahkan untuk urusan nama. Suatu pagi  ketika mengantar Aril ke taman kanak-kanak, Ketika sang guru mengabsen satu persatu anak-anak yang menggemaskan itu, betapa nama-nama yang kebarat-baratan bertebaran dimana-mana seperti vanesh, saheer, wily, bahkan abigail. Saat ini kau akan sulit mengidentifikasi orang desa ataupun orang kota dengan hanya melihat sebuah nama.

Kemudahan mengkualifikasi sebuah nama dan daerah asal mungkin saat ini haya ada di FTV, disana mungkin kau bisa menemukan nama Paijo disandingkan dengan orang yang awam terhadap dunia metropolis, begitu lugu dan tidak tahu terhadap teknologi dan berasal dari daerah sekitaran Jogja ataupun jawa tengah, kenapa begitu? Yah untuk dunia nyata, fenomena nama adalah hal yang cukup absurd untuk sekedar ditebak darimana dan kepada orang seperti apa nama otu melekat.

Ya sudah untuk urusan nama apapun  itu sebenarnya adalah urusan identitas, sebagai mana nama-nama orang Bali yang memiliki "tanda pengenal" unik yang mencirikan kultur serta tempat tinggalnya. Saya masih belum menemukan cara penamaan anak yang begitu khas seperti yang terjadi di Bali. yang pasti semoga hanya sebuah nama yang begitu cepat mengikuti jamannya dan "malu" terhadap asal usul budayanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan dan Ketimpangan Wewenang di dalam Sistem Perwakilan di Indonesia

Kedudukan dan Ketimpangan Wewenang di dalam Sistem Perwakilan di Indonesia Oleh: Jamilatur Rohma* Pada kisaran tahun 1998, Dewan Perwakilan Daerah lahir sebagai satu dari sekian banyak tuntutan untuk membuat sebuah lembaga tidak lagi bersifat sentralistik. Tuntutan ini akhirnya terpenuhi dan tertuang di dalam pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan adanya isi dari pasal tersebut Indonesia secara langsung mengidentifikasikan diri untuk menganut sistem perwakilan dua kamar atau yang biasa disebut bicameral system. Konsep awal Sistem dua kamar ini pada awalnya diharapkan menjadi penyeimbang antar lembaga lembaga perwakilan yang sebelumnya begitu memusat, dimana DPR RI merupakan representasi dari perwakilann politik rakyat sedangkan DPD merupakan perwakilan Daerah  yang keduanya di

Tentang

Di kedalaman matamu, ada sewujud sungai. Tersembunyi di antara ribuan sinar. Sungai yang beriak pelan mengalur sepanjang pandang. Ada wujud yang disembunyikannya di tengah malam. Diantara ribuan lelap dan mimpi, Tentang sepi yang menyakitkan, tentang hal mudah yang tak terkatakan. Sungai itu begitu dalam, begitu kelam.