Langsung ke konten utama

Istri dan Suami yang Mencari Inspirasi

Dokumentasi pribadi


Istri dan Suami yang Mencari Inspirasi

Alkisah, dahulu di waktu yang telah berlalu tapi tak terlalu lama untuk benar-benar melenyapkan sebuah cerita. Ada sepasang suami istri bahagia yang hidup di sebuah kota. Si  perempuan adalah istri setia yang sangat baik, sedangkan si suami adalah seorang penulis cerita kondang nan tampan.

Mereka hidup bahagia, penuh tawa, penuh rasa cinta. Sang suami sebagai seorang ahli cerita selalu mempersembahkan cerita yang sungguh indahpada sang istri. Cerita dengan akhir happy ending yang sangat menyentuh, tentang perjuangan berbalas kemenangan atau apalah, di setiap cerita katanya ada
pesan cinta untuk istrinya. Kehidupan yang bahagia.
Tapi suatu hari kesuraman tandang perlahan ke rumah mereka. Tentu saja tak tiba-tiba langsung suram, tapi sedikit-sedikit, membuat waktu enggan berputar, membuat gerah alur yang seharusnya segera diakhiri titik. Tapi sayang, suami nan pandai tak dapat berbuat apa-apa karena jalan cerita tak lagi atas wewenangnya.

Pagi yang terlalu indah sebenarnya untuk menonjolkan konflik dalam sebuah cerita, tapi sekali lagi, si suami bukan lagi pengarang cerita yang bebas menentukan alur, dia sekarang adalah seorang aktor yang berlakon dalam cerita besar yang tak tahu kapan usai. “Aku akan pergi ke sebuah desa untuk membuat cerita,” katanya saat sang istri duduk anggun setelah menghidangkan kopi yang masih mengepul.

“Apakah disini tak bisa untuk sekedar menyelesaikan sebuah cerita,” tak ada perubahan ekspresi dari sang istri, walau sebenarnya dia juga hendak menatayang bergejolak dalam tubuhnya. Bagaimana tidak suaminya tak mengucapkan
kata ingin, tapi kata akan, isyarat itu seperti sesuatu yang tak terbantahkan.

“Entahlah, tak ada lagi yang asli disini, saat aku  ingin bercerita
pemandangan yang ada hanya berita banjir di koran, jika  ingin berbicara tetangga tak ada keramahan disana, terkadangpun keramahan tetangga tak lagi benar adanya, semua terlalu hambar untuk menjadi sebuah cerita yang indah dan hidup.”

“Lalu?” tanya sang istri menggantung.

“Aku akan pergi ke sebuah desa, entah dimana, agar aku bisa menulis cerita,kau tetaplah disini tetap menungguku aku janji tak akan lama, pulangku
nanti akan kubuatkan cerita indah untukmu, sungguh pasti akan sangat indah jika aku melihatnya langsung disana". Hanya sampai disitu, suaminya tetaplah suaminya, tak ada niatan untuk menentangnya, istri yang baik jika boleh dikira perkataan suaminya semacam sabda Tuhan yang tak terbantahkan,
apalagi ditentang. Dan akhirnya hanya ada senyum manis menghiasi bibir sang istri mengenai permintaan sang suami untuk mencari inspirasi cerita.

***

Beberapa waktu berlalu, si wanita tetap duduk di tempat yang sama, tempat duduk di sebelah suami yang kosong; sedang di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan asap, lezat rasanya menyeruput kopi yang beraroma khas itu di pagi yang indah, pagi yang indah seperti biasa tempat si istri
selalu menghidangkan kopi dengan hati-hati untuk suami. Beberapa waktu berlalu tanpa suaminya tapi kebiasaan itu tetap dia lakukan membuat kopi mengepul di atas meja, tak diminumnya, hanya dilihatnya asap yang menari-nari menjajakan aroma manis pahit yang menggoda.

Begitu setiap harinya, mencoba tak jemu, ataupun bosan. Tapi berapa lama itu bisa bertahan lama, menahan rasa bosan sama dengan menahan air yang mulai bandang  hanya dengan 3 pancang besi,  tak berguna. Rasa itu mulai menghinggapi si istri, tapi dia tak pernah bicara, buat apa? Kepada siapa
pula?. Walau sebenarnya ia ingin mengisyaratkan lukanya, mungkin bisa dengan menangis tapi istri yang baik itu tak pernah melakukannya. Dia hanya menumpahkan rindu di gelas kopi menepul sudah penuh pula. Jika sudah begitu, matanya penuh, penuh apa? Entahlah; penuh rasa muak, bosan, benci,
rindu, semua jadi satu hingga untuk mendifinisikan saja sulit.

Rumah yang sepi itu tak lagi terawat, tak ada bunga-bunga yang dulumenentramkan hatinya, cucian kotor, piring kotor menumpuk sama menumpuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab di kepalanya, siapa yang mau disalahkan. Sampai suatu pagi yang selalu saja indah dia bertandang ke ruang kerja suaminya. Ruang itu jarang disentuhnya; tak ada yang terlalu menarik untuknya, hanya ada tumpukan buku yang mulai lusuh bertumpuk di sudut kanan

sebelah pintu itu, dan juga sebuah mesin tik tua yang selama ini digunakan suaminya bekerja. Dengan gemetar dia hampiri mesin itu membuka penutup kain yang ditutupkan di atasnya; banyak debu. Jemarinya perlahan menghampiri deret huruf yang ada di mesin tik itu, bergumam lirih mengikuti tangannya
yang menuliskan sebuah kata dengan huruf-huruf kapital; KAPAN KAU KEMBALI, TAK ADA CERITA, TAK APA. AGAR AKU TAK MENUNGGU.

Sungguh sebenarnya kata-kata itu tak punya kekuatan apa-apa jika dibaca orang lain, tapi tidak jika ada yang melihatnya waktu menulis kata itu, dengan tangan gemetar, suara gemetar, tak ada airmata, Cuma sepasang mata yang kian layu. Wanita penunggu itu tak pernah menangis, sekalipun. Dia terlahir menjadi orang bahagia yang tegar pula.

Ternyata setelah menyentuh mesin tik tua dan menuliskan kata itu ada yang berubah dari wanita penunggu itu. Dan di hari-hari berikutnya, dia semakin sering menghampiri mesin tik itu; menulis apa saja, saat marah langsung berlari kesana, rindu, benci, lelah, apapun yang ia rasakan ditulisnya menjadi sebuah cerita atau sebuah sajak yang mengharu biru, si wanita
penunggu menjelma seorang yang lain, dia juga menjadi seorang pembuat cerita juga sama seperti suaminya.

Tapi tak sama dengan sang suami; ceritanya selalu berakhir tak bahagia, sad ending  istilahnya. Semakin hari dia semakin berputus asa akan semua cerita yang dihasilkan dari otaknya.

Tapi walaupun sudah sibuk menulis cerita istri malang itu tetap membuat kopi mengepul yang di letakkannya di atas meja setiap hari, duduk di tempat duduk yang sama setiap hari memandang ke secangkir kopi dan meruahkan semua rasa yang tak bisa hilang walau dia sudah menuliskannya, semua.

Malam itu, ternyata lebih menyakitkan dari malam-malam senyap hari sebelumnya. Rasa itu kembali tandang, dua kali lipat lebih menyakitkan; kamar tidur menjadi terlalu sempit untuk sekedar memberinya udara untuk bernafas, dia gelisah, bulir keringat dingin membasahi bajunya. Dan diapun kembali berlari ke ruangan itu; ruang pengap, yang terdapat tumpukan buku di sudut sebelah pintu, menghampiri mesin tik itu. Pertamanya hanya memandang, mencoba menerjemahkan rasa sakit yang sedang dirasakannya. Terlalu sulit dan akhirnya dia menekan setiap deretan huruf itu; membuat cerita. Dia bercerita, menceritakan malam-malam yang berlalu sangat panjang, luka dan apa yang dirasakannya.

Satu paragraf selesai sampai titik. Punggung istri itu terguncang, wanita baik yang menunggu suaminya pulan itu menangis, sungguh apa yang dirasakannya, bukankah selama ini dia tak pernah menangis, bukankah dia wanita tegar, apakah seberat itu duka yang menghimpitnya. Dia terus saja
menulis, seperti setiap airmata yang keluar tanpa suara itu dapat menghasilkan kata-kata, tanpa henti. Bercerita tentang rasa rindu, sakitnya menunggu, tanya yang tak kunjung terjawab, benci, semuanya. Malam itu semua menjadi saksi betapa berputus asanya dia. Sekarang dia tak lagi menulis
cerita untuk orang orang-orang, cerita itu hanya untuknya pun
suaminya.

…. Tak tahu lagi harus kusimpan dimana rasa ini, secangkir kopi mengepul itu sudah tumpah ruah ku isi dengan segala rasa, gelasmu ou  sudah pecah dengan beling yang berserak; tak sempat kubersihkan ,  kamar kita pun sudah terasa sangat pengap karena selalu ku isi rindu tanpa kata.  Tahukah kau
bagaimana sakitnya menunggu?

Aku adalah wanita yang berputus asa, biar angin yang akan membawaku setelah ini, sama sepertimu; entah kemana, jika kau datang lagi biar kutitip salam kepada pohon mawar di kebun kita yang sudah mengering, dan sama seperti
Adam Eva  semoga takdir berpihak pada kita. Kau berjanji datang dengan cerita indah, tapi sayang, ada waktu yang tidak bisa terus menunggu. Ada rindu yang sudah meruah. Disini. Di hatiku.


Aku menunggu cerita yang sempat kau janjikan……
Tapi akhirnya aku pergi karena gagal untuk bersabar....

Wanita itu beranjak pergi, tak ada yang dibawa melewati pintu depan dan sampai ke halaman—berbisik sebentar ke pohon mawar yang hampir tumbang…

Annuqayah, 18 Oktober 2014




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedudukan dan Ketimpangan Wewenang di dalam Sistem Perwakilan di Indonesia

Kedudukan dan Ketimpangan Wewenang di dalam Sistem Perwakilan di Indonesia Oleh: Jamilatur Rohma* Pada kisaran tahun 1998, Dewan Perwakilan Daerah lahir sebagai satu dari sekian banyak tuntutan untuk membuat sebuah lembaga tidak lagi bersifat sentralistik. Tuntutan ini akhirnya terpenuhi dan tertuang di dalam pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan adanya isi dari pasal tersebut Indonesia secara langsung mengidentifikasikan diri untuk menganut sistem perwakilan dua kamar atau yang biasa disebut bicameral system. Konsep awal Sistem dua kamar ini pada awalnya diharapkan menjadi penyeimbang antar lembaga lembaga perwakilan yang sebelumnya begitu memusat, dimana DPR RI merupakan representasi dari perwakilann politik rakyat sedangkan DPD merupakan perwakilan Daerah  yang keduanya di

Terpesona "Cincin Merah Di Barat Sonne"

Terpesona "Cincin Merah Di Barat Sonne" 1 Awalnya aku membersihkan deretan rak buku di pojok kiri tempat tidurku. Sekitar satu meter dari pintu yang terbuka.  Membersihkan rak buku di malam hari sebenarnya bukan kebiasaanku.   Apalagi mengingat aku adalah orang yang cukup malas untuk meneliti dan menjaga buku bebas dari debu setiap hari,  Biasanya cukup membersihkannya 3 hari sekali selebihnya aku hanya menata agar buku-buku itu tidak terlihat berantakan. Aku membersihkan deretan panjang kumpulan kertas yang berisi ribuan kata itu sebagai penghilang jenuh setelah sekian waktu berkutat kepada materi kuliah yang besok akan diujikan,  Pekerjaan yang membosankan. Lalu setelahnya,  Mataku menemukan satu buku,  Sampul dominan biru laut monoton dengan judul yang cukup menarik, "Cincin Merah Di Barat Sonne, Andi Arsana, " bisikku sambi memiringkan kepala ke kanan untuk membaca judul lebih jelas. Aku ingat buku ini belum pernah aku baca,  Tidak semua buku yang kupunyai t

Tentang

Di kedalaman matamu, ada sewujud sungai. Tersembunyi di antara ribuan sinar. Sungai yang beriak pelan mengalur sepanjang pandang. Ada wujud yang disembunyikannya di tengah malam. Diantara ribuan lelap dan mimpi, Tentang sepi yang menyakitkan, tentang hal mudah yang tak terkatakan. Sungai itu begitu dalam, begitu kelam.